Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 05 September 2009

solusi islam dalam mengendalikan nafsu amarah

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani

Nafsu ammarah salah satu dari tujuh nafsu dalam diri manusia. Secara harfiah amarah berarti mengajak atau menyuruh. Sedang nafsu itu sendiri berarti jiwa. Seperti apa wujudnya dalam tingkah laku sehari-hari?
Nafsu ammarah acap mengajak akal-pikiran manusia untuk berangan-angan. Biasanya dengan iming-iming yang menggiurkan: makan, minum, tidur, dan jima’ secara berlebihan.
Allah berfirman:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena esungguhnya nafsu (ammarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf, 53)
“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raf, 179)
Nafsu ammarah disebut juga nafsu binatang. Bahkan, Imam Ghazali dalam bukunya yang terkenal Ihya' Ulumuddin menyebutnya dengan citraan yang lebih kontras: bahimiyyah dan sabu'iyyah (binatang ternak dan binatang buas).
Sifat binatang ternak dan binatang buas itu mengeram dalam diri manusia. Mulai dari jiwa sampai jasmaninya. Wujudnya dalam bentuk perilaku makan, minum, tidur, bersenggama, dan tempat yang serba berlebihan, tidak islami. Puncaknya: hubbud dun-ya wakarahatul maut (cinta dunia dan takut mati).

Budak Dunia
Jika nafsu amarah menguasai diri manusia maka jadilah ia sebagai orang yang tamak, rakus, loba dan berbagai macam sifat tidak terpuji lainnya. Bahkan tidak sedikit yang lalai dalam urusan agama karena disibukkan urusan dunia.
Mereka suka bermegah-megahan, gemar menimbun kekayaan tanpa menghiraukan kewajiban berzakat. Mereka lebih senang menghabiskan harta di jalan setan (maksiat) daripada di jalan Allah. Mereka telah diperbudak dunia.
Tentang hal ini, ada hadist berbunyi:
"Wahai dunia, berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepada-Ku, dan perbudaklah orang yang mengabdi kepadamu!" (HQR. Al-Qudha'I, dari Ibnu Mas'ud)

Ammarah Bahimiyyah
Nafsu ammarah berbusana bahimiyyah itu identik dengan laku hidup binatang ternak dalam hal memenuhi kebutuhan jasmaninya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berbusana bahimiyyah laku-hidupnya sering seperti binatang ternak.
Dalam kaitan nafsu ammarah berbusana bahimiyyah kiranya perlu diperhatikan pengertian kalimat “berlebih-lebihan” atau “pemborosan” dan “sederhana”, sebagaimana acap disebut dalam Al Qur’an.
Pengertian “berlebih-lebihan” dan “pemborosan” ialah perbuatan yang melampaui batas yang wajar. Sedang “sederhana” ialah perbuatan menahan diri dari kemampuan maksimal yang dimilikinya. Dua pengertian tersebut tentu tidak lepas dari norma-norma syari’at islam.
Orang yang sering menggunakan hartanya untuk kemaksiatan dan kejahatan, baik lahir maupun batin, disebut “golongan manusia boros”. Pemboros, adalah saudara atau teman-teman setan. “Tidaklah setan mempunyai famili, melainkan bangsanya sendiri”.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” Al-Israa’ Ayat 27
Atau menurut Hadist Rasulullah SAW:
"Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedakahlah jangan berlebih-lebihan dan janganlah untuk bermegah-megahan." (HR Abu Daud dan Ahmad)

Ammarah Sabu’iyyah
Nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah ialah nafsu yang sifatnya seperti binatang buas dalam cara mencari atau memenuhi kebutuhan jasmaninya. Seperti: makan, minum, tidur, kawin, dan sebagainya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah maka dalam mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya ia acap berlaku seperti binatang buas.
Lihat saja tabiat orang yang dikuasai nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah: sodok sana, sodok sini! Cengkeram sana, cengkeram sini! Sungguh sangat memprihatinkan.
Dengan kekuasaan, mereka merasa tinggi serta dapat menata si miskin. Dengan harta, mereka merasa terhormat kendati berbuat nista dan maksiat. Tahukah mereka apakah sebetulnya harta itu?
Allah berfirman:
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal, 28)
Memang, sudah menjadi fitrah manusia untuk mencintai dan banyak keinginan dalam meraih kehidupan dunia. Namun demikian, tetap harus dipahami bahwa kenikmatan duniawi hanya sebatas kesenangan di dalam hidup yang fana.
Firman Allah:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran, 14)

Penawar Nafsu Ammarah
Penawar nafsu ammarah meliputi tiga tahapan. Yaitu: (1) ilmu ma’rifah; (2) dzikrullah yang kontinyu, dan (3) mujahadah.
Berkaitan ilmu ma’rifah hendaklah seseorang belajar ilmu-ilmu tentang sekitar aib nafsu. Untuk itu, tentu perlu bimbingan seorang ulama alias Syekh Mursyid. Ilmu ma’rifah tentu tidak lepas ilmu tauhid.
Manusia yang tidak mengenal dirinya, lahir maupun batin, akan terombang-ambing oleh tipuan nafsu ammarah. Akibatnya, ia mudah tergiur oleh bujuk rayu setan. Dan setan bersembunyi di dalam dirinya sendiri.
Allah berfirman:
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah, 7-8)
Dzikrullah yang kontinyu juga merupakan sarana pembersih jiwa. Sesuai dengan firman (?) Allah:
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat (berhubungan dengan Tuhannya)". (QS. Al A'laa, 14-15)
Zikir yang terus menerus dapat menenangkan jiwa. Tidak akan tenang jiwa seseorang melainkan jika jiwanya dalam keadaan bersih dari kotoran maksiat. Dan tidak akan bersih jiwa seseorang melainkan dengan menjalankan zikir yang terus menerus.
Dan sebaik-baik dzikrullah bagi orang-orang yang masih pada tahapan pembersihan serta menundukkan nafsu ammarah ialah zikir nafi itsbat: لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ
Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada tuhan kecuali Allah”. Hal itu harus dilakukan terus menerus. “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berdo’a: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ar-Ruum, 32)
Cara lain: dengan cara mujahadah. Artinya, memerangi hawa nafsu dengan cara menghindari segala bentuk kemaksiatan lahir maupun batin. Juga melawan gejolak kehendak jiwa yang mengajak untuk berbuat nista dan yang menghalangi tujuh anggota sujud.
Jika seseorang telah mengetahui hakikat kehidupan dunia dan menetapkan dzikrullah secara terus menerus, niscaya ia akan selalu kuat jiwanya dalam menghadapi segala kondisi yang memperdayakan. Akal dan pikirannya tidak mengikuti gejolak hawa nafsu yang selalu mengajak berkhayal dan berbuat kejahatan.
Maka jika seseorang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya, niscaya tampaklah sifat dan perbuatannya tidak dibuat-buat. Atau sekadar terpaksa dalam mengamalkan syari’at Islam.
Tentang hal ini Allah pun berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.” (QS. Almu’minun, 1-3)
Tiga tahapan yang meliputi ilmu, zikir, dan mujahadah tersebut tentu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Tidak dapat seseorang mencapai kebersihan diri (nafsu) bila sekadar mengamalkan zikir. Atau mengamalkan salah satu di antara ketiganya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar